Dampak Buruk Masyarakat Ekonomi Asean
Salah satu contohnya adalah Wahab An-Nasaru, salah satu dari banyak pengrajin batu permata yang ironisnya harus menutup usaha mereka sementara produk mereka masih sangat dicari di pasar internasional.
Kejenuhan pasar lokal telah memaksa pedagang batu permata keluar dari bisnis karena mereka tidak bisa menjual barang dagangan mereka di negara lain.
"Saya tidak tahu bagaimana untuk mengekspor produk" kata Wahab, seorang pengrajin batu dari Gorontalo yang berbicara bahasa Inggris dengan lancar, di Jakarta baru-baru ini.
Ketika ditanya apakah Komunitas mendatang ASEAN Economic (AEC), yang akan memungkinkan pergerakan bebas barang dan jasa di seluruh wilayah Asia Tenggara, dapat membantunya membuka kembali usahanya lagi karena bisa membuka pasar internasional, Wahab, tampak murung dan menggelengkan nya kepala sambil mengatakan bahwa ia tidak yakin.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terdiri Indonesia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina, bersama dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Kamboja. Laos dan Myanmar dengan gabungan populasi 600 juta.
Situasi yang dihadapi oleh Wahab agak ironis dan bertentangan dengan pernyataan dari Departemen Perdagangan awal tahun ini. Kementerian itu mengatakan bahwa salah satu permintaan produk luar negeri dari Indonesia adalah perhiasan kerajinan, seperti yang diproduksi Wahab.
Secara teoritis, liberalisasi perdagangan yang akan membawa efek penuh pada awal tahun depan, harus membantu Wahab usaha kecil untuk membuat sebuah awal baru karena mengurangi hambatan tarif akan meningkatkan daya saing di pasar luar negeri.
Namun, kurangnya pengetahuan atas prosedur ekspor dan standardisasi produk ASEAN serius mempengaruhi peluang usaha kecil untuk berhasil di era baru.
Wahab dan rekan-rekannya tampaknya memiliki kurang memahami isu-isu teknis.
Komplikasi lain yang timbul mengenai MEA adalah kurangnya dukungan keuangan untuk usaha kecil dan menengah.
Muhammad Irfandi, pengusaha tekstil kecil dari Medan, mengatakan bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana lebih untuk membantunya memasarkan produknya di negara-negara ASEAN lainnya.
Perdagangan internasional membutuhkan sejumlah modal besar untuk menjaga produksi, Irfan menjelaskan. Selain itu, perlu untuk membayar asuransi pengiriman yang menyebabkan lonjakan harga produk.
"Kenyataannya adalah lebih sulit daripada apa yang dikatakan pemerintah," kata Irfan.
Tidak tahu apa yang diharapkan
Usaha kecil dan menengah sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Mereka account selama lebih dari 97 persen tenaga kerja nasional, tetapi hanya berkontribusi sekitar 16 persen dari ekspor non-minyak dan gas negara itu pada tahun 2014, turun empat persen dari tahun 2003.
Angka ini lebih kecil bila dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Misalnya Thailands, usaha kecil dan menengah menyumbang 30 sampai 40 persen dari total ekspor negara.
"Sebagian besar dari usaha kecil di Indonesia masih tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi AEC," dosen di Universitas Gadjah Mada, Randy Nadyatama, menulis dalam majalah The Diplomat.
Dari sudut pandang statistik, pernyataannya cukup benar karena data menunjukkan bahwa hanya 0,5 persen dari usaha kecil dan menengah Indonesia mengekspor produk mereka.
Ia mengusulkan bahwa untuk berhasil dalam AEC pemerintah harus meningkatkan daya saing antara perusahaan lokal kecil dengan memberikan keringanan pajak khusus, memberikan bantuan di bidang teknologi informasi, menawarkan bantuan dalam sistem kepabeanan ASEAN, dan menyegarkan sistem perbankan untuk mendukung ekspansi pasar.
Tahun ini, pemerintah mengatakan bahwa mereka akan mengurangi beban bunga kredit lunak untuk sembilan persen untuk 2016 dari 22 persen pada tahun lalu untuk membantu usaha kecil memperluas pasar mereka.
Namun, usaha kecil masih sangat membutuhkan dana segar untuk mengekspor produk mereka karena hanya memperoleh Rp8 triliun pada tahun ini, seperti pembiayaan ekspor jatuh pendek dari Rp75 triliun yang dibutuhkan.
Pemerintah juga memberikan pelatihan standardisasi untuk 74.000 usaha kecil dan menengah untuk membantu mereka dalam mengekspor produk mereka. Namun, angka ini hanya sebagian kecil dari usaha 48.900.000 mikro, kecil, dan menengah yang beroperasi di Indonesia.
Kekhawatiran lain mengenai usaha kecil adalah persaingan tidak sehat yang diperkirakan terjadi setelah pelaksanaan AEC.
Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan deregulasi dan kompetisi pajak yang lebih rendah dari daerah perdagangan bebas untuk menarik bisnis besar untuk berinvestasi di satu negara.
Beberapa analis mengatakan bahwa ras ke kompetisi bawah parah dapat berdampak usaha kecil karena kebijakan pemerintah (tax holiday, dll) hanya akan menguntungkan perusahaan multinasional besar.
Implikasi dekat adalah meningkatnya pengangguran, terutama di kalangan pekerja tidak terampil.
Kesimpulannya, AEC pasti akan memberikan kesempatan tak terbatas untuk Indonesias usaha kecil dan menengah untuk bersaing dan memperluas pasar mereka di luar negeri.
Perjanjian perdagangan bebas juga diharapkan untuk mengantarkan potensi manfaat untuk 600 juta penduduk di negara Asia Tenggara.
Ini bisa membuat mereka perekonomian terbesar keempat di dunia untuk 15 tahun ke depan dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari delapan persen.
Namun, keberhasilan tidak akan jatuh dari langit. Pemerintah harus membuat persiapan yang diperlukan karena usaha kecil masih membutuhkan bantuan.
Kita sebagai warga negara Indonesia juga harus siap untuk menghadapi Dampak Buruk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
Komentar (0)
Post a Comment